Note : Karya Fan Fiction ini diterbitkan atas kerjasama JKT48 Fanblog dengan Fanpage JKT48 NOVEL, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu
Follow juga JKT48 Novel di twitter
  Berisik, ramai, padat. Seperti itu lah suasana yang tertangkap di  bandara, Jakarta, pada siang hari. Salah satu member sebuah Idol group  yang berasal dari negri Sakura, AKB48, yaitu Takahashi Minami, baru saja  mendarat di bandara, Jakarta. Para penggemar entah itu wanita atau pria  semuanya terlihat bersemangat menyambut member Idol group tersebut.  Slogan slogan bertuliskan SELAMAT DATANG meramaikan suasana di bandara.  bahkan, seorang pria terlihat sedang mencium cium poster Takamina yang  tertempel di dinding.
Cantik, putih, lucu, itulah seruan  sang penggemar saat melihat Idolanya muncul. Teriakan demi teriakan  keluar dari mulut para penggemar. Reporter yang berada di lokasi mulai  bergerak meliput kedatangan Takamina untuk di putarkan di televisi.  Wajah yang ceria, tangan yang melambai lambai dari sang Idola membuat  suasana semakin ribut.
   Alarm jam  berbunyi. Pukul enam tepat. Rasa ngantuk dan lelah masih menghantui  Melody. Dengan mata setengah tertutup Melody memaksakan diri untuk  bangkit dari tempat tidurnya. Melody berjalan membuka jendela kamarnya.  Angin sejuk yang berhembus ke dalam dirinya membuat rasa ngantuk hilang  dan hanya ada wajah ceria yang terpancar. Rasa lelah lenyap begitu saja  seolah olah angin yang berhembus ke dalam dirinya itu seperti malaikat  yang memberikan semangat. Melody menatap dirinya di cermin kamarnya,  Tampak bayangan wanita usia akhir enam belas tahun. Wajahnya ceria,  rambutnya yang berwarna gelap menjuntai ke bahunya. Senyumnya yang indah  membuat rasa percaya diri yang kuat dalam dirinya.
    ''Terima kasih, Ibu...Ayah...yang sudah melahirkan aku ke dunia ini.  Gag kerasa, aku udah duduk di kelas dua belas.'' Ucap bangga Melody.
Melody  menuruni tangga, berjalan ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Tiga  menit kemudian, Melody berjalan ke kamar orang tuanya. Ia Melihat  sekeliling kamar namun tidak ada siapa pun.
   ''Pagi pagi begini  Ibu dan Ayah udah berangkat kerja.'' Melody menghela nafas, merasakan  betapa hebatnya perjuangan orang tuanya dalam mencari uang. Ayahnya  bekerja di sebuah kantor media, sementara Ibunya membantu menjalankan  usaha kue tetangganya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Setelah  itu, Melody menuju meja makan untuk sarapan, mengambil sehelai roti dan  mengolesi nya dengan selai coklat. Ia meletakkan sarapan nya di atas  meja lalu duduk. Di tatapnya sejenak sarapannya, kemudian di  gelengkannya kepalanya. Kebosanannya pada roti telah melenyapkan nafsu  makanya. Melo pun beralih ke ruang santai dan menyalakan televisi. Ia  terkejut, teriak histeris setelah melihat liputan Takamina di tv.
   ''Itu...i...itu kan Takamina! Dia ada di Indonesia!''
Bagaimana  tidak terkejut, Takamina adalah salah satu member favorit Melody sejak  lama. Jadwal sekolah yang sibuk membuat Melody tidak tahu bahwa idolanya  akan berkunjung ke Indonesia. Melody mengira, kedatangan Takamina hanya  berupa kunjungan saja atau mungkin ada sebuah event yang harus dia  hadiri. Tapi apa?
Ponsel Melody berbunyi di meja dekat Ia  duduk. Melody mencabut kabel charge yang tersambung di ponselnya.  Tertulis nama 'Dhike' di layar ponselnya. Ia pun segera menggangkat nya.
   ''Ya? Ada apa, Dhike?'' Jawab Melody.
   ''Boleh aku minta tolong sama kamu?''
Suara  Dhike yang lemah membuat Melody cemas. Mengira ngira ada yang tidak  beres dengannya. Dhike sering sekali sakit. Daya tahan tubuhnya yang  sangat lemah membuat nya sering sekali alami demam.
   ''Apa kamu sakit?'' Tanyanya.
   ''Enggak, kok. Tolong ijinkan aku di sekolah ya. Hari ini aku nggak bisa masuk karena ada acara.''
Melody sedikit ragu mempercayai Dhike. ''Oh, begitu... Oke!'' balas singkat Melody. Mereka pun segera mengakhiri percakapan.
Sebelum  Melody menutup teleponnya, ia sempat mendengar suara batuk Dhike  ditelepon, Ternyata dugaan Melo benar, lagi lagi Dhike tidak mau  menceritakan yang sebenarnya bahwa dirinya lagi kurang sehat.
Melody  sedikit kecewa dengannya. ''Lagi lagi dia bohong, tinggal sendirian  disebuah apartemen itu nggak mudah. Padahal, aku udah mengganggapnya  kayak saudara ku sendiri.''
Melody terdiam sejenak, ia masih  memikirkan keadaan Dhike. Ia semakin khawatir dengannya. ''Gimana kalo  terjadi apa apa dengannya?''
Nada tinggi Melody membuat  Frieska, adiknya, terbangun dari tidurnya yang kamarnya tidak jauh dari  ruang santai, Frieska mendengar ucapan kakaknya dan segera  menghampirinya.
   ''Siapa yang kakak maksud?'' Tanya Frieska.
   ''Ya?''
Frieska semakin penasaran. ''Dan siapa yang udah kakak anggap kayak saudara itu?''
   ''Oh, itu. Dia teman sekelas kakak. Namanya Dhike.''
   ''Apa dia itu sangat baik sampai sampai kakak mengganggapnya saudara?''
   ''Tentu.'' Melody memperjelas.
   ''Jadi makin penasaran sama teman kakak. Oya, kamar mandinya aku pakai duluan ya. Aku kesiangan nih.''
   ''Oke!''
Melody  melirik jam dinding. Walau waktunya mepet, Melody bersikeras membuatkan  bubur kacang untuk Dhike. Ia memang sering sekali membuat bubur saat  Temannya sakit. Apalagi Dhike sangat suka bubur buatan Melody.
    Udara yang sejuk masih menyelimuti kota Jakarta. Jalan raya yang  bersih serta gedung gedung tinggi di ibu kota sungguh memanjakan mata  bila melihatnya. Bunga bunga cantik tumbuh menghiasi pinggiran jalan.  Namun, dimana ada keistimewaan pasti ada kelemahan. Kota yang bersih dan  modern bisa saja dikatakan belum sempurna dikarenakan polusi udaranya.  Mobil mobil yang sangat banyak dan tidak bisa di tampung menyebabkan  polusi yang bila dihirup akan tumbuh penyakit. Orang orang berjalan di  pinggiran jalan untuk bekerja atau mungkin sekolah. Ada yang menunggu  Busway sambil membaca koran dan adapula yang menunggu sambil  mendengarkan musik. Memang, kurang pas rasanya jika tidak menghibur diri  saat diri kita di buat menunggu.
Langkah kaki yang  tergesa gesa membuat nafas semakin cepat. Wajah yang cemas, panik, serta  rasa ketakutannya semakin menjadi jadi. dikencangkannya tali sepatunya  siapa tau akan ada yang mengejarnya. Topi yang dipakainya dituruni  sedikit agar sebagian wajahnya tertutupi. Namun, Ronald apes.  Keberadaannya telah diketahui. Seorang pria mengikutinya dari belakang.  Langkah Ronald semakin cepat.
   ''Hei, tunggu!'' Teriak seorang pria yang mengikutinya.
Mendengar  itu, Ronald pun segera berlari melewati gang kecil, ia tidak mau bila  dirinya tertangkap olehnya. Lalu, pria itu mengejarnya. Ronald berusaha  kabur dari pria tersebut dengan berlari sekencang mungkin. Tidak peduli  apa yang ada dihadapannya. Ia Terus berlari sampai akhirnya ronald  berhasil membuat orang yang mengejarnya kehilangan jejaknya. Namun,  kelihatannya percuma saja. pria itu tahu tujuan Ronald. Pria itu  mengambil jalan pintas melewati taman serta air mancur. Tiba tiba saja,  pria itu sudah ada di depan Ronald. Tentu Ronald akan terkejut  melihatnya, ditatapnya pria itu dengan wajah dendam, nafasnya naik  turun. Pria itu hanya senyam senyum gembira, namun disisi lain, pria itu  memandang Ronald dengan pandangan seperti ingin menghabisinya. Ronald  pun segera mengambil dompet hasil curiannya di sakunya dan  memperlihatkanya pada pria itu.
   ''Apa anda mau mengambil ini?'' Tanyanya.
   ''Tentu saja, aku gak perlu susah susah mencurinya. Aku bisa merampas dompet itu dari seorang pencuri.''
   ''kalau begitu, Bukankah anda sama saja dengan seorang pencuri?'' balas Ronald.
Pria  itu kesal, merasa di ejek oleh Ronald. Bagaimanapun umur mereka berbeda  jauh. ''Lancang sekali bocah ini. Anak kecil gak boleh memegang uang  yang berlebihan. Apa orang tua mu gak mengajarkan itu?'' kata pria  seakan akan sedang membujuk Ronald.
   ''Aku gak punya orang tua.'' Bantahnya..
   ''Pantas saja, kelakuan mu sangat buruk.''
    ''Kelakuan mu lah yang lebih buruk. Kerjamu hanya bisa memalak orang  dan berjudi. Sebelum bicara tengoklah dirimu sendiri, apakah dirimu  merasa paling benar?'' Ronald membela.
Pria itu semakin kesal saja  dengan ucapan Ronald yang barusan. Tangan kanannya bergetar seperti  sudah kehabisan kesabaran. Matanya melotot.
   ''Kenapa? Gunakan  saja tanganmu itu untuk memukul wajah ku? Apa anda takut dilihat  orang?'' Ronald merasa percaya diri. Melihat sekeliling suasana saat  itu. Banyak orang dimana mana. Rasanya tidak mungkin jika pria itu  menghajarnya di tempat seramai itu, pikir Ronald.
   ''Kurang ajar! Siapa bilang aku gak berani. Dasar bocah tengik!''
Dugaan  Ronald meleset, Pria itu malah berlari ke arah Ronald dan menghajar  wajahnya. Ronald terlempar, dompet yang di pegangnya terlepas dari  tangannya. Hajaran pria tersebut segera membawa akibat, semua orang yang  ada di sekelilingnya memperhatikannya. Orang orang Merasa kasihan pada  Ronald, tapi apa yang bisa dilakukan oleh pejalan kaki untuknya? Jika  menolongnya hanya akan melukai diri sendiri. Tidak ada pejalan kaki yang  ingin ikut campur. Tubuh yang kekar dan wajah yang seram dari pria itu  membuat pejalan kaki tidak bisa berbuat apa apa. Ronald kesakitan,  memegang wajah yang memar sehabis terkena pukulan tadi.
Pria  itu tersenyum senang, merasa puas, dan ia pun mengambil dompet yang  terlepas jatuh ke jalan. ''Nah, seperti ini yang aku maksud. Apa  susahnya menyerahkan dompet ini pada ku. Kalau kamu langsung  memberikannya kamu gak akan terluka kayak gitu.'' Senyum pria itu sambil  memukul mukul bahu Ronald.
   ''Baiklah, lain kali jika kamu mencuri kamu harus bagi bagi denganku. Oke? Selamat tinggal.''
Ronald  sangat kesal dan jengkel, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tubuh  yang mungil dan tidak mempunyai kemampuan bela diri hanya bisa berdiam  diri.
Pria itu pergi berjalan meninggalkannya, ia berbalik arah.  Tiba tiba saja, langkahnya terhenti. Seorang wanita menghalangi jalan  pria tersebut sambil Menatapnya
Santai. Namanya Sendy Ariani, rambutnya panjang, parasnya cantik.
   ''Minggir!'' Seru pria itu.
Sendy  tidak mau mendengarkannya, Pria itu pun mengalah dengan menghindar  berjalan ke arah kanan. Namun Sendy tetap menghalanginya. Mencoba ke  kiri, tetap Sendy menghalanginya.
   ''Apa kamu ingin main main denganku?'' Tanya pria kesal.
   ''Kembalikan dompet itu padanya.'' jawab Sendy tenang.
Pria itu tertawa. ''Sepertinya kamu memang ingin main main denganku ya? Wajahmu itu terlalu cantik untuk ku buat seperti dia.''
Sendy  tersenyum, tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Sendy. ''Kalimat  anda itu salah. Yang benar adalah... Apa wajahmu yang jelek itu mau aku  buat tambah jelek lagi?''
Pria itu terlihat sangat marah. Mencoba  mendekati Sendy. Ia Melampiaskan kemarahanya dengan memegang wajah  Sendy dengan lembut. Oh, tidak! Sepertinya pria itu sudah mengambil cara  yang salah, Sendy malah memegang tangan pria tersebut dengan erat, ia  memelintirkannya dan membanting si pria itu. Ronald yang melihat aksi  Sendy hanya bisa terpesona. Punggung Pria itu pun kesakitan, Sendy  mengambil kesempatan untuk mengambil dompet milik Ronald di saku baju  pria tersebut. Setelah mendapatkannya, Sendy langsung menyerahkannya  pada Ronald.
   ''Ini milikmu. Ambilah!'' kata Sendy.
Ronald  merasa malu, bagaimanapun ronald adalah seorang pria dan Yang mampu  menumbangkan pria itu hanya seorang wanita yang bahkan tubuhnya lebih  kecil dari Ronald.
Ia pun berbasa basi. ''Aku bukan gak mau melawannya. Aku hanya--''
Omongan ronald dipotong. ''Aku tau...''
   ''Tau apa?''
Sendy mendekatkan bibirnya ke telinga Ronald.
   ''Pria kalem...'' Bisik Sendy.
Sendy pergi meninggalkan Ronald. Ronald merasa kehilangan harga dirinya.
   ''Apa dia bilang? Kalem?'' Jengkel Ronald.
    Langkah kaki yang tergesa gesa membuat nafas Melody semakin cepat.  Wajah yang panik, rambut yang terurai lembut, seragam putih abu serta  tas di punggungnya. Itulah penampilan yang tergambar bila seseorang  melihatnya.
   ''Karena membuat bubur aku jadi telat ke sekolah.'' Cemas Melody.
Walau  sekolahnya cukup jauh, Melody lebih memilih berjalan kaki dibandingkan  dengan naik ojek. Melo melihat arloji di tangan kirinya. Langkah nya  semakin cepat.
   Suara audio mobil kedengaran menyentak  nyentak, menggebrak telinga. Tapi memuaskan jiwa yang berada di dalam  sebuah mobil mewah lengkap dengan sopir pribadi milik Jessica Veranda  yang melintas membelah jalan raya. Ve yang berada di kursi belakang  menggangguk ngangguk, sedikit menari nari seakan dirinya terhipnotis  oleh musiknya. Saat lampu merah, mobil berhenti. Ve mengambil kesempatan  untuknya menari nari di dalam mobil. Kaca mobil yang transparan membuat  seisi mobil terlihat dari luar. Bagi Ve, hal seperti itu hal yang biasa  baginya. Tidak ada rasa ragu maupun malu. Kekanan, kiri, depan dan  belakang. Terus.
Ve tidak sengaja melihat Melody tepat  melintas di pinggir mobilnya. Kebetulan, saat itu Ve juga mempunyai  tujuan yang sama, yaitu ke sekolah. Bahkan, Ve adalah teman sebangkunya  Melody di kelas. Ve membuka kaca mobil, berteriak memanggil Melody.
   ''Melo!''
Langkah  kaki Melody terhenti. Melihat ke arah sumber suara. Wajah cemas berubah  menjadi senang setelah melihat Ve dihadapannya. Melody mendekati mobil  Ve sambil tersenyum. ''Ve!''
   ''Ayo berangkat sama sama.'' Ajak Ve.
Melody  menggangguk. Ia segera Membuka pintu mobil lalu masuk. Ve menyuruh  sopir mematikan audio mobilnya. Lampu hijau pun menyala, mobil kembali  berjalan.
Didalam mobil, Melody melihat lihat sekeliling  isi mobil dengan wajah pesona. Desain mobil yang indah, layar LCD  terpasang disetiap kursi, udara yang wangi dan sejuk, sopir yang  berpakaian rapih. Semua kemewahan itu yang dirasakan Melody saat berada  didalam mobil. Dalam hati Melody berkata, Ve adalah orang yang beruntung  dilahirkan sebagai anak konglomerat. Orang tuanya terlalu memanjakannya  sampai sampai hampir setiap keinginannya dikabulkan seperti mobil yang  Ve miliki ini.
Ia melirik ke arah Ve. Memandanginya dengan  perasaan gembira telah memilikinya. Walau Ve terlahir sebagai anak  orang kaya, Ve tidak pernah merendahkan si miskin atau menilai seseorang  dari hartanya. Tidak terlihat perhiasan yang ramai ditubuhnya. Ve  memang tidak suka memakai atau memamerkan barang barangnya secara  berlebihan. Menurutnya, dia lebih suka memakai pakaian yang biasa  dipakai oleh teman temannya. Kenapa bisa begitu? Entahlah, mungkin takut  di jambret atau disebut 'Dasar, tulang pamer!' hal seperti itu memang  sering terjadi di kalangan remaja. Ve mulai menyadari pandangan Melody  yang berlebihan itu.
   ''Ada apa? Kenapa memandangiku terus?'' Heran Ve.
Melody mencari cari alasan, ia tidak sengaja melihat warna bibir Ve yang mencolok sebagai alasan.
   ''Apa kamu memakai lipstik?''
   ''Kenapa? Ketebalan, ya?''
   ''Nggak, kok. Warnanya cocok dan terlihat segar.''
   ''Ibuku yang membelikannya. Kamu juga pakai, ya.''
   ''Ah, gag usah.''
Ve tetap mengambil pewarna bibir berbentuk stick didalam tasnya. Memberikannya pada Melody.
   ''Ini, pakai saja.''
Melody menggelengkan kepalanya. Ve melihat wajah Melody yang malu malu mau dan sedikit ragu.
   ''Ini bagus, lho. Mampu menghilangkan bibir pecah pecah.'' Ve memperjelas.
Melody  tetap menggelengkan kepalanya. Melihat sikap Melody yang malu malu, Ve  tersenyum jahil. Dengan sedikit paksaan, Ve memakaikan pewarna bibir  tersebut pada Melody.
   ''Ah, Ve....!'' Melody kegelian saat Ve  memakaikan pewarna bibir tersebut dengan paksa. Mereka tertawa canda.  Sopir yang sedang mengemudi pun ikut tertawa tipis melihat kelakuan  konyol mereka.
   Pukul delapan tepat. Melody dan  Ve tiba di gerbang sekolah. Mereka berjalan menuju kelas. Lapangan  sekolah dipenuhi oleh siswa siswa baru. Topi yang terbuat dari bola  plastik, kalung yang hanya terbuat dari tali rapia dan juga tas dari  kardus. Seperti itulah penampilan para siswa baru dalam masa orientasi  siswa. Melody dan Ve hanya bisa tertawa geli melihatnya.
   ''Gak terasa ya, kita sudah menjadi kakak kelas mereka.'' Ucap Ve.
   ''Iya. Kalau suasana mos begini aku jadi ingat kejadian yang dulu.'' Melody tertawa geli.
   ''Kejadian apa?''
   ''Ini tentang kamu.'' Jawab Melody sambil memandang Ve.
Ve semakin penasaran. ''Aku?''
    ''Kamu ingat, dulu kakak kelas kita pernah memberikan pertanyaan tebak  menebak makanan. Bentuknya bulat kecil, berwarna hijau dan jumlahnya  sangat banyak. Kamu ingat. Kan?''
Ve panik, sudah menduga Melody  akan mengatakannya. Itu adalah hal yang sangat memalukan bagi Ve. Dengan  sigap Ve menyumpel mulut Melody dengan tisu yang ada ditangannya.
   ''Ah...Ve! Kebiasaan.'' Jengkel Melody.
Ve tertawa puas setelah menyumpel tisu kedalam mulut Melody.
   ''Tisunya nempel di mulut ku. Udah kaya bubur nih...'' Ulang Melody sambil meludah ludah tisu yang ada di mulutnya.
    ''Iya maaf. Habisnya, kamu ungkit ungkit kejadian itu lagi. Aku saja  ingin melupakannya kenapa kamu malah mengingatnya. Malu tau...''
    ''Apa salahnya kalau aku mengingatnya, toh aku ini kan sahabatmu, beda  lagi kalau dengan pacarmu, kamu pasti akan kehilangan muka.'' Melody  tertawa.
Ve geregetan melihat Melody tertawa atas dirinya. Mereka  berdua memang bisa dibilang paling konyol. Apalagi jika kelompok mereka  lengkap dengan adanya Dhike.
Jika mereka berkumpul pasti tidak akan lepas dengan yang namanya bergurau.
   ''Siapa yang cepat, dia yang dapat.'' Seru Ve.
Melody yang berada di sebelahnya keheranan, tiba tiba Ve mengatakan kalimat yang tidak di mengertinya.
   ''Apa maksud kamu?''
   ''Selamat bersenang senang dengan yang namanya Yuda.'' bisik Ve. Ve pun berlari menuju kelasnya.
    ''Eh, tunggu! Itu namanya gak adil. Sekarang itu kan giliran kamu yang  duduk dekat Cowok itu.'' Teriak Melody. Percuma, Melody menghela nafas  pasrah. Tingkah laku Ve yang seenaknya itu memang kadang bikin jengkel  semua orang. namun, kalau soal ditanya pacar atau sahabat, Ve akan tetap  memilih sahabatnya. Itulah mengapa Melody dan Dhike selalu mengalah  pada Ve. Siapa sih yang suka duduk dekat Yuda. Pasti jawaban semua teman  satu kelasnya adalah TIDAK. Pria yang merasa dirinya hebat dan juga  suka merayu para wanita itu lah penyebab teman teman menjauhinya.
    Pagi menjelang siang. Sekitar jam sepuluh. Suasana di depan apartemen  begitu sepi dan tenang. Dhike berjalan sempoyongan menuju kursi taman  dan duduk. Tubuh yang lemah serta demam yang tinggi membuatnya semakin  tidak bersemangat. Wajahnya pucat. Tidak banyak hal yang bisa Dhike  lakukan saat sakit menyerangnya. Bunga bunga cantik tumbuh dimana mana.  Setiap mata memandang pasti yang dilihat hanya bunga yang cantik. Hal  yang dianggap kita cantik tidak akan selamanya cantik dan menghibur.  Justru, makin dipandang akan semakin bosan.
Hati yang galau  dicampur rasa kesal terus meluap dalam diri Dhike. Ia mengambil ponsel  di sakunya. Membuka album fotonya saat bersama Ibunya. Matanya tampak  berkaca kaca.
   ''Ibu... Aku sangat kangen Ibu. Aku akan jadi anak yang baik. Aku gak akan pernah merepotkan Ibu lagi. Bagaimana kabar Ibu?''
Kehidupan  Dhike memang bisa dibilang layak. Kedua orang tuanya yang membuka  restoran di singapura memang bisa dibilang sukses. Walau bisa dibilang  layak, tetap saja Dhike mengganggap kehidupannya itu belum sempurna  tanpa kehadiran orang tuanya. Sudah dua tahun lebih kedua orang tuanya  merantau ke Singapura. Setiap lima bulan sekali orang tuanya  mengunjunginya. Kehidupan Dhike tidak mudah di umurnya yang masih enam  belas tahun. Ia harus mengurus dirinya seorang diri di sebuah apartemen.  Dalam hal keuangan Dhike tidak pernah kekurangan. Setiap bulannya orang  tuanya selalu mengirimkannya lewat rekening. Hanya saja, kehidupannya  yang seorang diri membuatnya terasa hampa.
Seorang temanya  yang juga tinggal di apartemen yang sama tidak sengaja melihat Dhike.  Namanya Nabilah Ratna Ayu. Biasa teman teman memanggilnya Ayu. Seperti  namanya, wajah ayu sungguh cantik, anggun, rambutnya sebahu. aura dewasa  di wajahnya sungguh terpancar. Sampai sampai bisa mengelabui orang bila  melihatnya. Walau masih duduk di kelas tujuh, orang orang yang  melihatnya akan mengira bahwa dirinya itu sudah seumuran remaja.  Kedekatannya dengan Dhike selalu membuatnya merasa nyaman.  Mengganggapnya seperti kakaknya sendiri.
Saat itu Ayu baru  saja pulang sekolah. Ia berjalan menghampiri Dhike. Melihat wajah Dhike  yang mendung dan pucat, Ayu pun keheranan dengan raut wajah Dhike itu.  Sangking galaunya pikiran menjadi buyar, Dhike tidak menyadari  kedatangan ayu. Ayu memegang bahu Dhike dengan lembut seraya berkata.
   ''Kakak...''
Setelah menyadari keberadaan Ayu, Dhike berusaha membuang raut wajahnya yang mendung. Berusaha bertingkah seperti biasanya.
   ''Ayu, kamu sudah pulang.'' Senyum Dhike.
Ayu menggangguk, Ia duduk disamping Dhike.
   ''Kakak sakit? Wajah kakak kelihatan pucat.'' Tanya Ayu khawatir.
Dhike  hanya menggelengkan kepala tak acuh. Hati Dhike yang sedang sedih  membuatnya tidak ingin di ganggu oleh siapa pun. Suasananya menjadi  kaku, keduanya saling diam. Ayu yang tidak mengerti suasana saat itu  mencoba membuka topik pembicaraan baru. Ayu membuka tasnya, mengambil  boneka kelinci yang baru saja dibelinya. Ia memperlihatkan boneka  kelincinya itu pada Dhike.
   ''Tada! Lucu, kan? Aku baru saja membelinya. Harganya sangat murah, kak.''
Sekilas  Dhike melirik boneka tersebut. Namun Dhike tidak begitu tertarik dan  menanggapinya. Suasana hatinya yang kacau membuat sikapnya semakin tidak  peduli dengan apa yang ada disekelilingnya.
Ayu sedikit  kecewa, niatnya membuat Dhike terkejut malah tidak ada respon sama  sekali. Ayu menjadi salah tingkah. Ayu merasa mungkin saat ini Dhike  tidak ingin di ganggu. Wajah Dhike yang semakin mendung semakin kuat  niat ayu untuk tidak mengganggunya. Ayu mencari cari alasan yang tepat  untuk meninggalkannya.
   ''Kak, aku ganti baju dulu ya.''
Dhike  hanya menggangguk tak acuh. Sikap Dhike yang bisa dibilang jutek  membuat ayu sungguh kecewa. Ia pun segera berjalan meninggalkan Dhike  menuju lift apartemen sambil menggenggam boneka kelincinya itu.
   ''Maafkan aku.'' Kata Dhike sambil memandang Ayu dari kejauhan.
Saat di dalam lift apartemen, Ayu menatap boneka kelincinya dengan rasa kecewa. Wajahnya cemberut.
   ''Padahal, aku beli ini untuk kakak.'' Ayu menghela nafas.
Ia  kesal dan memukul mukul boneka kelincinya itu. ''Kakak jahat. Sudah  satu bulan penuh aku menabung hanya untuk memberikan ini pada kakak.''
***
   ''Hei, Mel! Melo!'' Bisik Ve.
Melo terkejut. Terbangun dari tidurnya. Semua teman teman satu kelasnya memandang Melody. Melo malu, membuang mukanya.
   ''Sudah berapa lama aku tidur?'' Bisik Melo pada Ve.
   ''Hampir satu jam.''
Ia pun sangat terkejut. ''Sampai selama itu, kenapa kamu gak bangunin aku?''
   ''Aku gak tega. Lagipula gak ada guru yang masuk kok.''
Melody menghela nafas, merasa lega.
   ''Ke kantin, yuk?'' Ajak melo.
   ''Mau beli apa?''
   ''Aku haus...''
Ve mengambil sebotol minuman dari dalam tasnya. Menyodorkannya pada Melo.
   ''Ini, minum saja.''
Melo  manggut manggut. Ia segera mengambil dan meminumnya. Suasana kelas yang  tanpa guru semakin tidak terkendali. Berisik. Semua siswa sibuk dengan  kegiatannya masing masing. Ada yang ngerumpi berkelompok, ada yang  mempercantik diri, membaca, bahkan ada yang bermain game di laptopnya.  Seperti suasana pasar. Pada saat kenaikan kelas suasana seperti ini  memang sering terjadi. Dimana para guru semuanya sibuk mengurusi siswa  siswa baru.
Ve merasa bosan, mengambil komik dari dalam  tasnya untuk menghibur dirinya. Sedangkan Melo hanya bisa berdiam diri.  Tidak ada barang yang bisa menghiburnya. Ingin berbaur dengan siswa yang  lainnya, tetapi yang dibicarakan hanyalah gosip. Melo mengamati  kelompok wanita yang terdiri atas empat orang yang berada tidak jauh  dari tempat duduk Melo.
   ''Eh, apa kamu masih bersama dia?'' Kata seseorang.
   ''Iya lah. Aku bisa mati kalau sampai ditinggalkannya. Dia itu seperti artis.''
   ''Kenalin donk. Aku jadi penasaran.'' Ucap yang lain.
   ''Gak ah. Nanti kamu malah naksir lagi.''
Melo  yang mendengar percakapan itu hanya bisa menahan dirinya untuk tidak  tertawa dengan membuang mukanya. Tidak sopan rasanya jika sampai tertawa  karena dikira nantinya Melo terlalu merendahkan atau meremehkan teman  temannya. Ve yang sedang membaca komik merasa aneh. Ia merasa ada yang  tidak benar. Tapi apa? Biasanya setiap membaca komik Ve tidak pernah  membaca komik sampai lima lembar halaman karena komiknya selalu saja  dipinjam Dhike. Dhike... Benar! Ve baru menyadari ketidakhadirannya. Ia  melihat sekeliling tapi tidak juga melihat Dhike.
   ''Mel, Dhike dimana? Kenapa dia gak masuk?''
   ''Tadi pagi dia telepon. Katanya minta ijin. Tapi aku rasa dia sedang sakit. Sepulang sekolah aku ingin menemuinya.''
Dengan sigap Ve berkata. ''Aku ikut.''
Melo tersenyum. Ternyata Dhike beruntung punya teman yang sangat peduli terhadapnya.
Seorang  guru sekaligus wali kelas tersebut melintas. Wajahnya tampan, umurnya  sekitar tiga puluh tahunan. Mengajar mata pelajaran bahasa inggris.  Murid murid yang melihat kedatangan guru tersebut terlihat sibuk  merapihkan meja dan kembali ke tempat duduknya masing masing. Murid  murid memberinya salam. Mereka merasa senang wali kelasnya datang.  Terutama para wanita. Wajahnya yang tampan dan cara mengajar yang bisa  dibilang kalem membuat murid merasa nyaman.
   ''Apa kabar semuanya?'' Seru guru.
Murid murid serentak menjawab 'Baik'.
   ''Hari ini, murid dikelas ini akan bertambah satu. Kita akan kedatangan murid baru.''
Teriakan  terakhir guru itu segera membawa akibat. Sebagian murid wajahnya  terlihat bertanya tanya seperti apakah sosok murid baru tersebut.  Suasana kelas semakin ribut.
   ''Pak, apakah dia tampan?'' Ucap seorang wanita.
Murid murid yang mendengar ucapan tersebut menyorakannya. Pak guru hanya senyam senyum mendengarnya.
   ''Sepertinya kalian sudah gak sabar.'' Guru menengok ke arah pintu.
   ''Masuklah!'' teriaknya.
Semua  murid menengok ke arah pintu. Menantikan kedatangan murid baru  tersebut. Murid baru tersebut melangkahkan kakinya menuju kelas.  Rambutnya panjang berponi, memakai kaca mata, kulitnya putih dan juga  tinggi. Rasa gugup serta malu semakin menjadi jadi saat berada didalam  kelas. Kepalanya menunduk terus. Sebagian siswa wanita merasa kecewa  saat mengetahui bahwa murid baru tersebut adalah seorang wanita. Melody  dan Ve tersenyum memandang murid baru itu.
   ''Sepertinya kita akan punya teman baru.'' Bisik Ve pada Melody.
Melody tersenyum sambil mengangguk.
   ''Silahkan perkenalkan diri anda.'' Kata guru.
Murid  baru itu menegakkan kepalanya, melihat semua murid dalam kelas.  Sebagian siswa tidak memperdulikannya. Ada yang ngobrol, ada yang  melanjutkan sms, bahkan ada juga yang melamun. Rasa tidak percaya diri  dan gugup semakin menjadi jadi. Wajahnya menjadi pucat. Ve menatap wajah  murid baru yang gugup dan pucat itu. Ia sengaja melambaikan tangannya  agar pandangan murid baru itu tertuju pada Ve. Murid baru pun melihat  lambaian tangan Ve dan menatapnya. Melody sempat bingung dengan tingkah  laku Ve. Ve memberikan gerakan semangat. Akhirnya Melody sadar kalau Ve  sedang menyemangati murid itu. Melody ikut menatap murid baru itu dan  menyemangatinya.
Murid baru itu mulai menggerakkan bibirnya.
   ''Namaku...''
BERSAMBUNG...
Home » JKT48 Novel Fan Fiction » JKT48 Novel Fan Fiction Part 1 (Season 1)
JKT48 Novel Fan Fiction Part 1 (Season 1)
Diposting oleh Anonim on Jumat, 20 April 2012
Label:
JKT48 Novel Fan Fiction

 
 
 
 
 
