JKT48 Novel Fan Fiction Part 1 (Season 1)

Diposting oleh Anonim on Jumat, 20 April 2012

Note : Karya Fan Fiction ini diterbitkan atas kerjasama JKT48 Fanblog dengan Fanpage JKT48 NOVEL, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu
Follow juga JKT48 Novel di twitter

JKT48


  Berisik, ramai, padat. Seperti itu lah suasana yang tertangkap di bandara, Jakarta, pada siang hari. Salah satu member sebuah Idol group yang berasal dari negri Sakura, AKB48, yaitu Takahashi Minami, baru saja mendarat di bandara, Jakarta. Para penggemar entah itu wanita atau pria semuanya terlihat bersemangat menyambut member Idol group tersebut. Slogan slogan bertuliskan SELAMAT DATANG meramaikan suasana di bandara. bahkan, seorang pria terlihat sedang mencium cium poster Takamina yang tertempel di dinding.

Cantik, putih, lucu, itulah seruan sang penggemar saat melihat Idolanya muncul. Teriakan demi teriakan keluar dari mulut para penggemar. Reporter yang berada di lokasi mulai bergerak meliput kedatangan Takamina untuk di putarkan di televisi. Wajah yang ceria, tangan yang melambai lambai dari sang Idola membuat suasana semakin ribut.



   Alarm jam berbunyi. Pukul enam tepat. Rasa ngantuk dan lelah masih menghantui Melody. Dengan mata setengah tertutup Melody memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidurnya. Melody berjalan membuka jendela kamarnya. Angin sejuk yang berhembus ke dalam dirinya membuat rasa ngantuk hilang dan hanya ada wajah ceria yang terpancar. Rasa lelah lenyap begitu saja seolah olah angin yang berhembus ke dalam dirinya itu seperti malaikat yang memberikan semangat. Melody menatap dirinya di cermin kamarnya, Tampak bayangan wanita usia akhir enam belas tahun. Wajahnya ceria, rambutnya yang berwarna gelap menjuntai ke bahunya. Senyumnya yang indah membuat rasa percaya diri yang kuat dalam dirinya.

   ''Terima kasih, Ibu...Ayah...yang sudah melahirkan aku ke dunia ini. Gag kerasa, aku udah duduk di kelas dua belas.'' Ucap bangga Melody.
Melody menuruni tangga, berjalan ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Tiga menit kemudian, Melody berjalan ke kamar orang tuanya. Ia Melihat sekeliling kamar namun tidak ada siapa pun.
   ''Pagi pagi begini Ibu dan Ayah udah berangkat kerja.'' Melody menghela nafas, merasakan betapa hebatnya perjuangan orang tuanya dalam mencari uang. Ayahnya bekerja di sebuah kantor media, sementara Ibunya membantu menjalankan usaha kue tetangganya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Setelah itu, Melody menuju meja makan untuk sarapan, mengambil sehelai roti dan mengolesi nya dengan selai coklat. Ia meletakkan sarapan nya di atas meja lalu duduk. Di tatapnya sejenak sarapannya, kemudian di gelengkannya kepalanya. Kebosanannya pada roti telah melenyapkan nafsu makanya. Melo pun beralih ke ruang santai dan menyalakan televisi. Ia terkejut, teriak histeris setelah melihat liputan Takamina di tv.
   ''Itu...i...itu kan Takamina! Dia ada di Indonesia!''
Bagaimana tidak terkejut, Takamina adalah salah satu member favorit Melody sejak lama. Jadwal sekolah yang sibuk membuat Melody tidak tahu bahwa idolanya akan berkunjung ke Indonesia. Melody mengira, kedatangan Takamina hanya berupa kunjungan saja atau mungkin ada sebuah event yang harus dia hadiri. Tapi apa?

Ponsel Melody berbunyi di meja dekat Ia duduk. Melody mencabut kabel charge yang tersambung di ponselnya. Tertulis nama 'Dhike' di layar ponselnya. Ia pun segera menggangkat nya.
   ''Ya? Ada apa, Dhike?'' Jawab Melody.
   ''Boleh aku minta tolong sama kamu?''
Suara Dhike yang lemah membuat Melody cemas. Mengira ngira ada yang tidak beres dengannya. Dhike sering sekali sakit. Daya tahan tubuhnya yang sangat lemah membuat nya sering sekali alami demam.
   ''Apa kamu sakit?'' Tanyanya.
   ''Enggak, kok. Tolong ijinkan aku di sekolah ya. Hari ini aku nggak bisa masuk karena ada acara.''
Melody sedikit ragu mempercayai Dhike. ''Oh, begitu... Oke!'' balas singkat Melody. Mereka pun segera mengakhiri percakapan.
Sebelum Melody menutup teleponnya, ia sempat mendengar suara batuk Dhike ditelepon, Ternyata dugaan Melo benar, lagi lagi Dhike tidak mau menceritakan yang sebenarnya bahwa dirinya lagi kurang sehat.
Melody sedikit kecewa dengannya. ''Lagi lagi dia bohong, tinggal sendirian disebuah apartemen itu nggak mudah. Padahal, aku udah mengganggapnya kayak saudara ku sendiri.''
Melody terdiam sejenak, ia masih memikirkan keadaan Dhike. Ia semakin khawatir dengannya. ''Gimana kalo terjadi apa apa dengannya?''

Nada tinggi Melody membuat Frieska, adiknya, terbangun dari tidurnya yang kamarnya tidak jauh dari ruang santai, Frieska mendengar ucapan kakaknya dan segera menghampirinya.
   ''Siapa yang kakak maksud?'' Tanya Frieska.
   ''Ya?''
Frieska semakin penasaran. ''Dan siapa yang udah kakak anggap kayak saudara itu?''
   ''Oh, itu. Dia teman sekelas kakak. Namanya Dhike.''
   ''Apa dia itu sangat baik sampai sampai kakak mengganggapnya saudara?''
   ''Tentu.'' Melody memperjelas.
   ''Jadi makin penasaran sama teman kakak. Oya, kamar mandinya aku pakai duluan ya. Aku kesiangan nih.''
   ''Oke!''
Melody melirik jam dinding. Walau waktunya mepet, Melody bersikeras membuatkan bubur kacang untuk Dhike. Ia memang sering sekali membuat bubur saat Temannya sakit. Apalagi Dhike sangat suka bubur buatan Melody.


   Udara yang sejuk masih menyelimuti kota Jakarta. Jalan raya yang bersih serta gedung gedung tinggi di ibu kota sungguh memanjakan mata bila melihatnya. Bunga bunga cantik tumbuh menghiasi pinggiran jalan. Namun, dimana ada keistimewaan pasti ada kelemahan. Kota yang bersih dan modern bisa saja dikatakan belum sempurna dikarenakan polusi udaranya. Mobil mobil yang sangat banyak dan tidak bisa di tampung menyebabkan polusi yang bila dihirup akan tumbuh penyakit. Orang orang berjalan di pinggiran jalan untuk bekerja atau mungkin sekolah. Ada yang menunggu Busway sambil membaca koran dan adapula yang menunggu sambil mendengarkan musik. Memang, kurang pas rasanya jika tidak menghibur diri saat diri kita di buat menunggu.

Langkah kaki yang tergesa gesa membuat nafas semakin cepat. Wajah yang cemas, panik, serta rasa ketakutannya semakin menjadi jadi. dikencangkannya tali sepatunya siapa tau akan ada yang mengejarnya. Topi yang dipakainya dituruni sedikit agar sebagian wajahnya tertutupi. Namun, Ronald apes. Keberadaannya telah diketahui. Seorang pria mengikutinya dari belakang. Langkah Ronald semakin cepat.
   ''Hei, tunggu!'' Teriak seorang pria yang mengikutinya.
Mendengar itu, Ronald pun segera berlari melewati gang kecil, ia tidak mau bila dirinya tertangkap olehnya. Lalu, pria itu mengejarnya. Ronald berusaha kabur dari pria tersebut dengan berlari sekencang mungkin. Tidak peduli apa yang ada dihadapannya. Ia Terus berlari sampai akhirnya ronald berhasil membuat orang yang mengejarnya kehilangan jejaknya. Namun, kelihatannya percuma saja. pria itu tahu tujuan Ronald. Pria itu mengambil jalan pintas melewati taman serta air mancur. Tiba tiba saja, pria itu sudah ada di depan Ronald. Tentu Ronald akan terkejut melihatnya, ditatapnya pria itu dengan wajah dendam, nafasnya naik turun. Pria itu hanya senyam senyum gembira, namun disisi lain, pria itu memandang Ronald dengan pandangan seperti ingin menghabisinya. Ronald pun segera mengambil dompet hasil curiannya di sakunya dan memperlihatkanya pada pria itu.
   ''Apa anda mau mengambil ini?'' Tanyanya.
   ''Tentu saja, aku gak perlu susah susah mencurinya. Aku bisa merampas dompet itu dari seorang pencuri.''
   ''kalau begitu, Bukankah anda sama saja dengan seorang pencuri?'' balas Ronald.
Pria itu kesal, merasa di ejek oleh Ronald. Bagaimanapun umur mereka berbeda jauh. ''Lancang sekali bocah ini. Anak kecil gak boleh memegang uang yang berlebihan. Apa orang tua mu gak mengajarkan itu?'' kata pria seakan akan sedang membujuk Ronald.
   ''Aku gak punya orang tua.'' Bantahnya..
   ''Pantas saja, kelakuan mu sangat buruk.''
   ''Kelakuan mu lah yang lebih buruk. Kerjamu hanya bisa memalak orang dan berjudi. Sebelum bicara tengoklah dirimu sendiri, apakah dirimu merasa paling benar?'' Ronald membela.
Pria itu semakin kesal saja dengan ucapan Ronald yang barusan. Tangan kanannya bergetar seperti sudah kehabisan kesabaran. Matanya melotot.
   ''Kenapa? Gunakan saja tanganmu itu untuk memukul wajah ku? Apa anda takut dilihat orang?'' Ronald merasa percaya diri. Melihat sekeliling suasana saat itu. Banyak orang dimana mana. Rasanya tidak mungkin jika pria itu menghajarnya di tempat seramai itu, pikir Ronald.
   ''Kurang ajar! Siapa bilang aku gak berani. Dasar bocah tengik!''

Dugaan Ronald meleset, Pria itu malah berlari ke arah Ronald dan menghajar wajahnya. Ronald terlempar, dompet yang di pegangnya terlepas dari tangannya. Hajaran pria tersebut segera membawa akibat, semua orang yang ada di sekelilingnya memperhatikannya. Orang orang Merasa kasihan pada Ronald, tapi apa yang bisa dilakukan oleh pejalan kaki untuknya? Jika menolongnya hanya akan melukai diri sendiri. Tidak ada pejalan kaki yang ingin ikut campur. Tubuh yang kekar dan wajah yang seram dari pria itu membuat pejalan kaki tidak bisa berbuat apa apa. Ronald kesakitan, memegang wajah yang memar sehabis terkena pukulan tadi.

Pria itu tersenyum senang, merasa puas, dan ia pun mengambil dompet yang terlepas jatuh ke jalan. ''Nah, seperti ini yang aku maksud. Apa susahnya menyerahkan dompet ini pada ku. Kalau kamu langsung memberikannya kamu gak akan terluka kayak gitu.'' Senyum pria itu sambil memukul mukul bahu Ronald.
   ''Baiklah, lain kali jika kamu mencuri kamu harus bagi bagi denganku. Oke? Selamat tinggal.''
Ronald sangat kesal dan jengkel, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tubuh yang mungil dan tidak mempunyai kemampuan bela diri hanya bisa berdiam diri.
Pria itu pergi berjalan meninggalkannya, ia berbalik arah. Tiba tiba saja, langkahnya terhenti. Seorang wanita menghalangi jalan pria tersebut sambil Menatapnya
Santai. Namanya Sendy Ariani, rambutnya panjang, parasnya cantik.
   ''Minggir!'' Seru pria itu.
Sendy tidak mau mendengarkannya, Pria itu pun mengalah dengan menghindar berjalan ke arah kanan. Namun Sendy tetap menghalanginya. Mencoba ke kiri, tetap Sendy menghalanginya.
   ''Apa kamu ingin main main denganku?'' Tanya pria kesal.
   ''Kembalikan dompet itu padanya.'' jawab Sendy tenang.
Pria itu tertawa. ''Sepertinya kamu memang ingin main main denganku ya? Wajahmu itu terlalu cantik untuk ku buat seperti dia.''
Sendy tersenyum, tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri Sendy. ''Kalimat anda itu salah. Yang benar adalah... Apa wajahmu yang jelek itu mau aku buat tambah jelek lagi?''
Pria itu terlihat sangat marah. Mencoba mendekati Sendy. Ia Melampiaskan kemarahanya dengan memegang wajah Sendy dengan lembut. Oh, tidak! Sepertinya pria itu sudah mengambil cara yang salah, Sendy malah memegang tangan pria tersebut dengan erat, ia memelintirkannya dan membanting si pria itu. Ronald yang melihat aksi Sendy hanya bisa terpesona. Punggung Pria itu pun kesakitan, Sendy mengambil kesempatan untuk mengambil dompet milik Ronald di saku baju pria tersebut. Setelah mendapatkannya, Sendy langsung menyerahkannya pada Ronald.
   ''Ini milikmu. Ambilah!'' kata Sendy.
Ronald merasa malu, bagaimanapun ronald adalah seorang pria dan Yang mampu menumbangkan pria itu hanya seorang wanita yang bahkan tubuhnya lebih kecil dari Ronald.
Ia pun berbasa basi. ''Aku bukan gak mau melawannya. Aku hanya--''
Omongan ronald dipotong. ''Aku tau...''
   ''Tau apa?''
Sendy mendekatkan bibirnya ke telinga Ronald.
   ''Pria kalem...'' Bisik Sendy.
Sendy pergi meninggalkan Ronald. Ronald merasa kehilangan harga dirinya.
   ''Apa dia bilang? Kalem?'' Jengkel Ronald.


   Langkah kaki yang tergesa gesa membuat nafas Melody semakin cepat. Wajah yang panik, rambut yang terurai lembut, seragam putih abu serta tas di punggungnya. Itulah penampilan yang tergambar bila seseorang melihatnya.
   ''Karena membuat bubur aku jadi telat ke sekolah.'' Cemas Melody.
Walau sekolahnya cukup jauh, Melody lebih memilih berjalan kaki dibandingkan dengan naik ojek. Melo melihat arloji di tangan kirinya. Langkah nya semakin cepat.

   Suara audio mobil kedengaran menyentak nyentak, menggebrak telinga. Tapi memuaskan jiwa yang berada di dalam sebuah mobil mewah lengkap dengan sopir pribadi milik Jessica Veranda yang melintas membelah jalan raya. Ve yang berada di kursi belakang menggangguk ngangguk, sedikit menari nari seakan dirinya terhipnotis oleh musiknya. Saat lampu merah, mobil berhenti. Ve mengambil kesempatan untuknya menari nari di dalam mobil. Kaca mobil yang transparan membuat seisi mobil terlihat dari luar. Bagi Ve, hal seperti itu hal yang biasa baginya. Tidak ada rasa ragu maupun malu. Kekanan, kiri, depan dan belakang. Terus.

Ve tidak sengaja melihat Melody tepat melintas di pinggir mobilnya. Kebetulan, saat itu Ve juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu ke sekolah. Bahkan, Ve adalah teman sebangkunya Melody di kelas. Ve membuka kaca mobil, berteriak memanggil Melody.
   ''Melo!''
Langkah kaki Melody terhenti. Melihat ke arah sumber suara. Wajah cemas berubah menjadi senang setelah melihat Ve dihadapannya. Melody mendekati mobil Ve sambil tersenyum. ''Ve!''
   ''Ayo berangkat sama sama.'' Ajak Ve.
Melody menggangguk. Ia segera Membuka pintu mobil lalu masuk. Ve menyuruh sopir mematikan audio mobilnya. Lampu hijau pun menyala, mobil kembali berjalan.

Didalam mobil, Melody melihat lihat sekeliling isi mobil dengan wajah pesona. Desain mobil yang indah, layar LCD terpasang disetiap kursi, udara yang wangi dan sejuk, sopir yang berpakaian rapih. Semua kemewahan itu yang dirasakan Melody saat berada didalam mobil. Dalam hati Melody berkata, Ve adalah orang yang beruntung dilahirkan sebagai anak konglomerat. Orang tuanya terlalu memanjakannya sampai sampai hampir setiap keinginannya dikabulkan seperti mobil yang Ve miliki ini.

Ia melirik ke arah Ve. Memandanginya dengan perasaan gembira telah memilikinya. Walau Ve terlahir sebagai anak orang kaya, Ve tidak pernah merendahkan si miskin atau menilai seseorang dari hartanya. Tidak terlihat perhiasan yang ramai ditubuhnya. Ve memang tidak suka memakai atau memamerkan barang barangnya secara berlebihan. Menurutnya, dia lebih suka memakai pakaian yang biasa dipakai oleh teman temannya. Kenapa bisa begitu? Entahlah, mungkin takut di jambret atau disebut 'Dasar, tulang pamer!' hal seperti itu memang sering terjadi di kalangan remaja. Ve mulai menyadari pandangan Melody yang berlebihan itu.
   ''Ada apa? Kenapa memandangiku terus?'' Heran Ve.
Melody mencari cari alasan, ia tidak sengaja melihat warna bibir Ve yang mencolok sebagai alasan.
   ''Apa kamu memakai lipstik?''
   ''Kenapa? Ketebalan, ya?''
   ''Nggak, kok. Warnanya cocok dan terlihat segar.''
   ''Ibuku yang membelikannya. Kamu juga pakai, ya.''
   ''Ah, gag usah.''

Ve tetap mengambil pewarna bibir berbentuk stick didalam tasnya. Memberikannya pada Melody.
   ''Ini, pakai saja.''
Melody menggelengkan kepalanya. Ve melihat wajah Melody yang malu malu mau dan sedikit ragu.
   ''Ini bagus, lho. Mampu menghilangkan bibir pecah pecah.'' Ve memperjelas.
Melody tetap menggelengkan kepalanya. Melihat sikap Melody yang malu malu, Ve tersenyum jahil. Dengan sedikit paksaan, Ve memakaikan pewarna bibir tersebut pada Melody.
   ''Ah, Ve....!'' Melody kegelian saat Ve memakaikan pewarna bibir tersebut dengan paksa. Mereka tertawa canda. Sopir yang sedang mengemudi pun ikut tertawa tipis melihat kelakuan konyol mereka.


   Pukul delapan tepat. Melody dan Ve tiba di gerbang sekolah. Mereka berjalan menuju kelas. Lapangan sekolah dipenuhi oleh siswa siswa baru. Topi yang terbuat dari bola plastik, kalung yang hanya terbuat dari tali rapia dan juga tas dari kardus. Seperti itulah penampilan para siswa baru dalam masa orientasi siswa. Melody dan Ve hanya bisa tertawa geli melihatnya.
   ''Gak terasa ya, kita sudah menjadi kakak kelas mereka.'' Ucap Ve.
   ''Iya. Kalau suasana mos begini aku jadi ingat kejadian yang dulu.'' Melody tertawa geli.
   ''Kejadian apa?''
   ''Ini tentang kamu.'' Jawab Melody sambil memandang Ve.
Ve semakin penasaran. ''Aku?''
   ''Kamu ingat, dulu kakak kelas kita pernah memberikan pertanyaan tebak menebak makanan. Bentuknya bulat kecil, berwarna hijau dan jumlahnya sangat banyak. Kamu ingat. Kan?''
Ve panik, sudah menduga Melody akan mengatakannya. Itu adalah hal yang sangat memalukan bagi Ve. Dengan sigap Ve menyumpel mulut Melody dengan tisu yang ada ditangannya.
   ''Ah...Ve! Kebiasaan.'' Jengkel Melody.
Ve tertawa puas setelah menyumpel tisu kedalam mulut Melody.
   ''Tisunya nempel di mulut ku. Udah kaya bubur nih...'' Ulang Melody sambil meludah ludah tisu yang ada di mulutnya.
   ''Iya maaf. Habisnya, kamu ungkit ungkit kejadian itu lagi. Aku saja ingin melupakannya kenapa kamu malah mengingatnya. Malu tau...''
   ''Apa salahnya kalau aku mengingatnya, toh aku ini kan sahabatmu, beda lagi kalau dengan pacarmu, kamu pasti akan kehilangan muka.'' Melody tertawa.
Ve geregetan melihat Melody tertawa atas dirinya. Mereka berdua memang bisa dibilang paling konyol. Apalagi jika kelompok mereka lengkap dengan adanya Dhike.
Jika mereka berkumpul pasti tidak akan lepas dengan yang namanya bergurau.
   ''Siapa yang cepat, dia yang dapat.'' Seru Ve.
Melody yang berada di sebelahnya keheranan, tiba tiba Ve mengatakan kalimat yang tidak di mengertinya.
   ''Apa maksud kamu?''
   ''Selamat bersenang senang dengan yang namanya Yuda.'' bisik Ve. Ve pun berlari menuju kelasnya.
   ''Eh, tunggu! Itu namanya gak adil. Sekarang itu kan giliran kamu yang duduk dekat Cowok itu.'' Teriak Melody. Percuma, Melody menghela nafas pasrah. Tingkah laku Ve yang seenaknya itu memang kadang bikin jengkel semua orang. namun, kalau soal ditanya pacar atau sahabat, Ve akan tetap memilih sahabatnya. Itulah mengapa Melody dan Dhike selalu mengalah pada Ve. Siapa sih yang suka duduk dekat Yuda. Pasti jawaban semua teman satu kelasnya adalah TIDAK. Pria yang merasa dirinya hebat dan juga suka merayu para wanita itu lah penyebab teman teman menjauhinya.



   Pagi menjelang siang. Sekitar jam sepuluh. Suasana di depan apartemen begitu sepi dan tenang. Dhike berjalan sempoyongan menuju kursi taman dan duduk. Tubuh yang lemah serta demam yang tinggi membuatnya semakin tidak bersemangat. Wajahnya pucat. Tidak banyak hal yang bisa Dhike lakukan saat sakit menyerangnya. Bunga bunga cantik tumbuh dimana mana. Setiap mata memandang pasti yang dilihat hanya bunga yang cantik. Hal yang dianggap kita cantik tidak akan selamanya cantik dan menghibur. Justru, makin dipandang akan semakin bosan.
Hati yang galau dicampur rasa kesal terus meluap dalam diri Dhike. Ia mengambil ponsel di sakunya. Membuka album fotonya saat bersama Ibunya. Matanya tampak berkaca kaca.
   ''Ibu... Aku sangat kangen Ibu. Aku akan jadi anak yang baik. Aku gak akan pernah merepotkan Ibu lagi. Bagaimana kabar Ibu?''
Kehidupan Dhike memang bisa dibilang layak. Kedua orang tuanya yang membuka restoran di singapura memang bisa dibilang sukses. Walau bisa dibilang layak, tetap saja Dhike mengganggap kehidupannya itu belum sempurna tanpa kehadiran orang tuanya. Sudah dua tahun lebih kedua orang tuanya merantau ke Singapura. Setiap lima bulan sekali orang tuanya mengunjunginya. Kehidupan Dhike tidak mudah di umurnya yang masih enam belas tahun. Ia harus mengurus dirinya seorang diri di sebuah apartemen. Dalam hal keuangan Dhike tidak pernah kekurangan. Setiap bulannya orang tuanya selalu mengirimkannya lewat rekening. Hanya saja, kehidupannya yang seorang diri membuatnya terasa hampa.

Seorang temanya yang juga tinggal di apartemen yang sama tidak sengaja melihat Dhike. Namanya Nabilah Ratna Ayu. Biasa teman teman memanggilnya Ayu. Seperti namanya, wajah ayu sungguh cantik, anggun, rambutnya sebahu. aura dewasa di wajahnya sungguh terpancar. Sampai sampai bisa mengelabui orang bila melihatnya. Walau masih duduk di kelas tujuh, orang orang yang melihatnya akan mengira bahwa dirinya itu sudah seumuran remaja. Kedekatannya dengan Dhike selalu membuatnya merasa nyaman. Mengganggapnya seperti kakaknya sendiri.

Saat itu Ayu baru saja pulang sekolah. Ia berjalan menghampiri Dhike. Melihat wajah Dhike yang mendung dan pucat, Ayu pun keheranan dengan raut wajah Dhike itu. Sangking galaunya pikiran menjadi buyar, Dhike tidak menyadari kedatangan ayu. Ayu memegang bahu Dhike dengan lembut seraya berkata.
   ''Kakak...''
Setelah menyadari keberadaan Ayu, Dhike berusaha membuang raut wajahnya yang mendung. Berusaha bertingkah seperti biasanya.
   ''Ayu, kamu sudah pulang.'' Senyum Dhike.
Ayu menggangguk, Ia duduk disamping Dhike.
   ''Kakak sakit? Wajah kakak kelihatan pucat.'' Tanya Ayu khawatir.
Dhike hanya menggelengkan kepala tak acuh. Hati Dhike yang sedang sedih membuatnya tidak ingin di ganggu oleh siapa pun. Suasananya menjadi kaku, keduanya saling diam. Ayu yang tidak mengerti suasana saat itu mencoba membuka topik pembicaraan baru. Ayu membuka tasnya, mengambil boneka kelinci yang baru saja dibelinya. Ia memperlihatkan boneka kelincinya itu pada Dhike.
   ''Tada! Lucu, kan? Aku baru saja membelinya. Harganya sangat murah, kak.''
Sekilas Dhike melirik boneka tersebut. Namun Dhike tidak begitu tertarik dan menanggapinya. Suasana hatinya yang kacau membuat sikapnya semakin tidak peduli dengan apa yang ada disekelilingnya.

Ayu sedikit kecewa, niatnya membuat Dhike terkejut malah tidak ada respon sama sekali. Ayu menjadi salah tingkah. Ayu merasa mungkin saat ini Dhike tidak ingin di ganggu. Wajah Dhike yang semakin mendung semakin kuat niat ayu untuk tidak mengganggunya. Ayu mencari cari alasan yang tepat untuk meninggalkannya.
   ''Kak, aku ganti baju dulu ya.''
Dhike hanya menggangguk tak acuh. Sikap Dhike yang bisa dibilang jutek membuat ayu sungguh kecewa. Ia pun segera berjalan meninggalkan Dhike menuju lift apartemen sambil menggenggam boneka kelincinya itu.
   ''Maafkan aku.'' Kata Dhike sambil memandang Ayu dari kejauhan.

Saat di dalam lift apartemen, Ayu menatap boneka kelincinya dengan rasa kecewa. Wajahnya cemberut.
   ''Padahal, aku beli ini untuk kakak.'' Ayu menghela nafas.
Ia kesal dan memukul mukul boneka kelincinya itu. ''Kakak jahat. Sudah satu bulan penuh aku menabung hanya untuk memberikan ini pada kakak.''

***

   ''Hei, Mel! Melo!'' Bisik Ve.
Melo terkejut. Terbangun dari tidurnya. Semua teman teman satu kelasnya memandang Melody. Melo malu, membuang mukanya.
   ''Sudah berapa lama aku tidur?'' Bisik Melo pada Ve.
   ''Hampir satu jam.''
Ia pun sangat terkejut. ''Sampai selama itu, kenapa kamu gak bangunin aku?''
   ''Aku gak tega. Lagipula gak ada guru yang masuk kok.''
Melody menghela nafas, merasa lega.
   ''Ke kantin, yuk?'' Ajak melo.
   ''Mau beli apa?''
   ''Aku haus...''
Ve mengambil sebotol minuman dari dalam tasnya. Menyodorkannya pada Melo.
   ''Ini, minum saja.''
Melo manggut manggut. Ia segera mengambil dan meminumnya. Suasana kelas yang tanpa guru semakin tidak terkendali. Berisik. Semua siswa sibuk dengan kegiatannya masing masing. Ada yang ngerumpi berkelompok, ada yang mempercantik diri, membaca, bahkan ada yang bermain game di laptopnya. Seperti suasana pasar. Pada saat kenaikan kelas suasana seperti ini memang sering terjadi. Dimana para guru semuanya sibuk mengurusi siswa siswa baru.

Ve merasa bosan, mengambil komik dari dalam tasnya untuk menghibur dirinya. Sedangkan Melo hanya bisa berdiam diri. Tidak ada barang yang bisa menghiburnya. Ingin berbaur dengan siswa yang lainnya, tetapi yang dibicarakan hanyalah gosip. Melo mengamati kelompok wanita yang terdiri atas empat orang yang berada tidak jauh dari tempat duduk Melo.
   ''Eh, apa kamu masih bersama dia?'' Kata seseorang.
   ''Iya lah. Aku bisa mati kalau sampai ditinggalkannya. Dia itu seperti artis.''
   ''Kenalin donk. Aku jadi penasaran.'' Ucap yang lain.
   ''Gak ah. Nanti kamu malah naksir lagi.''
Melo yang mendengar percakapan itu hanya bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa dengan membuang mukanya. Tidak sopan rasanya jika sampai tertawa karena dikira nantinya Melo terlalu merendahkan atau meremehkan teman temannya. Ve yang sedang membaca komik merasa aneh. Ia merasa ada yang tidak benar. Tapi apa? Biasanya setiap membaca komik Ve tidak pernah membaca komik sampai lima lembar halaman karena komiknya selalu saja dipinjam Dhike. Dhike... Benar! Ve baru menyadari ketidakhadirannya. Ia melihat sekeliling tapi tidak juga melihat Dhike.
   ''Mel, Dhike dimana? Kenapa dia gak masuk?''
   ''Tadi pagi dia telepon. Katanya minta ijin. Tapi aku rasa dia sedang sakit. Sepulang sekolah aku ingin menemuinya.''
Dengan sigap Ve berkata. ''Aku ikut.''
Melo tersenyum. Ternyata Dhike beruntung punya teman yang sangat peduli terhadapnya.

Seorang guru sekaligus wali kelas tersebut melintas. Wajahnya tampan, umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Mengajar mata pelajaran bahasa inggris. Murid murid yang melihat kedatangan guru tersebut terlihat sibuk merapihkan meja dan kembali ke tempat duduknya masing masing. Murid murid memberinya salam. Mereka merasa senang wali kelasnya datang. Terutama para wanita. Wajahnya yang tampan dan cara mengajar yang bisa dibilang kalem membuat murid merasa nyaman.
   ''Apa kabar semuanya?'' Seru guru.
Murid murid serentak menjawab 'Baik'.
   ''Hari ini, murid dikelas ini akan bertambah satu. Kita akan kedatangan murid baru.''
Teriakan terakhir guru itu segera membawa akibat. Sebagian murid wajahnya terlihat bertanya tanya seperti apakah sosok murid baru tersebut. Suasana kelas semakin ribut.
   ''Pak, apakah dia tampan?'' Ucap seorang wanita.
Murid murid yang mendengar ucapan tersebut menyorakannya. Pak guru hanya senyam senyum mendengarnya.
   ''Sepertinya kalian sudah gak sabar.'' Guru menengok ke arah pintu.
   ''Masuklah!'' teriaknya.
Semua murid menengok ke arah pintu. Menantikan kedatangan murid baru tersebut. Murid baru tersebut melangkahkan kakinya menuju kelas. Rambutnya panjang berponi, memakai kaca mata, kulitnya putih dan juga tinggi. Rasa gugup serta malu semakin menjadi jadi saat berada didalam kelas. Kepalanya menunduk terus. Sebagian siswa wanita merasa kecewa saat mengetahui bahwa murid baru tersebut adalah seorang wanita. Melody dan Ve tersenyum memandang murid baru itu.
   ''Sepertinya kita akan punya teman baru.'' Bisik Ve pada Melody.
Melody tersenyum sambil mengangguk.
   ''Silahkan perkenalkan diri anda.'' Kata guru.
Murid baru itu menegakkan kepalanya, melihat semua murid dalam kelas. Sebagian siswa tidak memperdulikannya. Ada yang ngobrol, ada yang melanjutkan sms, bahkan ada juga yang melamun. Rasa tidak percaya diri dan gugup semakin menjadi jadi. Wajahnya menjadi pucat. Ve menatap wajah murid baru yang gugup dan pucat itu. Ia sengaja melambaikan tangannya agar pandangan murid baru itu tertuju pada Ve. Murid baru pun melihat lambaian tangan Ve dan menatapnya. Melody sempat bingung dengan tingkah laku Ve. Ve memberikan gerakan semangat. Akhirnya Melody sadar kalau Ve sedang menyemangati murid itu. Melody ikut menatap murid baru itu dan menyemangatinya.
Murid baru itu mulai menggerakkan bibirnya.
   ''Namaku...''

BERSAMBUNG...